Kamis, 26 Januari 2012

Debu Masa Lalu di Auschwitz-Birkenau



Oleh: Maria Hartiningsih
Mereka hidup normal. Keluarganya tak tahu yang terjadi di balik tembok.
-- Szymon Filapek
Debu halus berjejalan memenuhi lubang-lubang terbuka, diputar angin dingin yang suaranya mendesing suatu pagi di awal musim gugur. Di Auschwitz-Birkenau kami menghirup partikel-partikel masa lalu yang mengapung dan melayang, menghadirkan masa silam di masa sekarang.
Langit cemerlang di atas situs konservasi Auschwitz-Birkenau ketika kami menyusuri rel kereta api di depan gerbang. Saat menyentuh relnya, saya tergetar oleh rasa dingin yang merambat dari ujung jari dan berhenti tepat di ulu hati.
Inilah rel kereta api yang digunakan SS—the Schutzstaffel, skuadron pengamanan, organisasi paramiliter terbesar di bawah Adolf Hitler dan Partai Nazi—untuk mengangkut orang Yahudi yang diseleksi dari berbagai negara di Eropa ke Birkenau antara 1942-1944.
Luas Auschwitz II-Birkenau sekitar 138 kali luas lapangan sepak bola, 10 kali luas kamp utama Auschwitz. Di situlah, pemusnahan massal terhadap orang Yahudi dimulai tahun 1942 dengan berfungsinya kamar gas pertama Rumah Merah Mungil. Birkenau berjarak 2 kilometer dari kamp utama, Auschwitz.
Model kota
Situs konservasi Auschwitz-Birkenau terletak di pinggiran kota Oswiecim, Polandia, sekitar 50 kilometer arah barat Krakow, atau sekitar 312 kilometer selatan Warsawa. Luasnya hampir 200 hektar, terdiri dari 150 bangunan, sekitar 300 reruntuhan dan bekas kamp. Termasuk jejak terpenting sejarah Auschwitz: empat kamar gas dan krematorium di Birkenau, lebih dari 13 kilometer pagar kawat berduri, 3.600 bangunan beton pos jaga, dan 20 hektar hutan gugur. Kamp konsentrasi terbesar bermodel kota itu dibangun Nazi dengan menggusur 1.200 rumah di delapan desa.
Szymon Filapek (34) memandu kami memasuki bekas-bekas barak berisi sisa barang-barang pribadi korban di dalam kotak kaca di dinding, maket proses pemusnahan, dan kamar gas yang membuat bergidik karena masih pekat oleh aura kematian.
Rumah Komandan I Auschwitz, Rudolf Hoess, tampak masih terawat. ”Mereka hidup normal. Keluarganya tak tahu yang terjadi di balik tembok,” ujar Filapek.
Situs Auschwitz-Birkenau dikunjungi lebih dari 1,6 juta orang per tahun. Pengunjung dan rombongan anak sekolah berjalan dalam diam. Keheningan mencekam, membuat suara pemandu terdengar berbisik dan gesekan sepatu dengan daun kering terasa berisik.
Refleksi
Rasanya mimpi bisa menapak pusat pemusnahan yang menjadi telaah berbagai kajian tentang holocaust. Meski pernah mengunjungi Museum Holocaust di beberapa kota di AS dan Eropa, juga Museum dan Pusat Riset Holocaust Yad Vashem di Jerusalem, suasana rasa di Auschwitz-Birkenau sangat berbeda.
Di situlah, sedikitnya 1,1 juta orang Yahudi—dari lebih dari enam juta korban—ditambah 200.000 warga Polandia, Gypsie, tahanan perang Soviet, dan lain-lain tewas dengan cara mengerikan.
Kisah calon korban dijejal seperti ternak di gerbong-gerbong tertutup dengan bau klorin menyengat sudah banyak dibaca dan ditonton lewat film, baik dokumenter maupun berdasar kisah nyata. Pun bagaimana seleksi menjadi pekerja atau kelinci percobaan para dokter SS dilakukan. Yang dianggap ’tak berguna’ dan ’bersalah’ tewas dalam hitungan detik oleh uap Zyclon B, hasil senyawa udara dengan granul sianida di kamar gas, atau dibiarkan kedinginan dan kelaparan sampai tewas.
Filapek mengulang kisah itu di jantung peristiwa kekejian, yang bentang suasananya membuat nyeri di dada, meninggalkan perasaan kosong yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.
Namun, narasi besar itu, betapapun, menghilangkan narasi-narasi sejarah personal banyak survivor. Dalam narasi besar, pengertian bangsa sangat otoritatif, karena hanya ada dua peran: pelaku yang kejam dan korban yang tak berdaya.
Polaritas yang menyulitkan proses rekonsiliasi personal maupun sebagai bangsa itu dipatahkan, antara lain, oleh narasi Wladyslaw Szpilman, warga Yahudi Polandia, dalam The Pianist (2003). Szpilman mengungkap diskriminasi di komunitas Yahudi, termasuk pemilihan atas dasar kelas dan status sosial untuk dikorbankan lebih dulu.
Szpilman juga menulis, pada saat-saat paling kritis dalam pelariannya, ia diselamatkan Kapten Wilm Hosenfeld, tentara Jerman yang sebenarnya seorang guru. Namun, Szpilman gagal menyelamatkan Hosenfeld setelah Jerman kalah perang.
Di Yad Vashem, Jerusalem, tercatat 16.000 orang Arya (Jerman) yang dikenang di antara 400.000-an orang Polandia yang bertaruh nyawa untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi.
Dalam wawancara dengan Oprah Winfrey, November 2000, Elie Wiesel, survivor, ilmuwan, penulis, penerima Nobel Perdamaian 1986, menegaskan, ”Saya tidak percaya pada kesalahan kolektif. Anak pembunuh bukan pembunuh. Mereka berhak mendapat cinta saya. Banyak murid Jerman saya sangat cerdas dan penuh welas asih.”
Sejarah gelap itu tampaknya masih membebani Jerman. Warga Yahudi-Jerman mendapat sejumlah privilese di Jerman. Meski punya persoalan dengan imigran, khususnya dari Turki, kebijakan imigrasi Jerman paling kondusif di Eropa.
Mengusik
Dalam perjalanan pulang, bayangan tumpukan 80.000 sepatu korban, sekitar 3.800 koper dan tas dengan 2.100 label nama, tak bisa dihalau. Gundukan 2 ton rambut perempuan di Auschwitz bergeming. Tuturan Filapek tentang belasan ton rambut yang ditemukan di pabrik tekstil saat investigasi kekejian Nazi setelah Jerman kalah perang terus bergema.
Namun, debu masa lalu dari Auschwitz-Birkenau juga yang mengusik saya pada konteks kekinian pernyataan filsuf Yahudi, Emmanuel Levinas, tentang ’kebangkrutan moralitas’, menyusul tragedi pemusnahan massal di Auschwitz-Birkenau.
Pertanyaan, ”bagaimana Israel menabrak nurani moral etisnya yang diyakini menjadi ciri keyahudian setelah Auschwitz, dengan serangan-serangan brutalnya ke wilayah Palestina” menjadi permenungan Dr Armada Riyanto SJ, Direktur Sekolah Tinggi Filsafat Widya Mandala, Malang, yang bertahun-tahun melakukan riset tentang holocaust.
”Auschwitz tak benar-benar menjadi masa lalu,” kata Armada, ”Pemusnahan oleh perang dan kebencian masih terus terjadi....”

Tidak ada komentar: